Web portal pendidikan – Selamat malam sobat keluhkesah.com, hari ini saya ingin membagikan suatu opini mengenai “Rumah keadilan bagi penyandang disabilitas“. Berikut ulasannya dapat saya sampaikan dibawah ini.
Rumah Keadilan Bagi Penyandang Disabilitas
Telah lebih ¾ abad Pancasila lahir serta dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Nilai-nilai yg ada pada sila Pancasila akan tetap exis seiring berkembangnya zaman. Tetapi, dalam sepuluh tahun terakhir, implementasi terhadap nilai-nilai moral yang terkandung dalam sila Pancasila belum teraktualisasi secara optimal.
Hal ini disebabkan sang taraf kepatuhan rakyat terhadap implementasi nilai moral Pancasila semakin menurun. Kemudian, apakah jargon “Pancasila dalam tindakan buat Indonesia tangguh” hanya akan menjadi jargon saja ?
Sedangkan adat istiadat luhur yg mengatur tingkah laku manusia buat berbuat baik dan benar seakan diabaikan begitu saja. Hal ini dapat dibuktikan menggunakan banyakknya masalah pelanggaran moral berupa kekerasan serta diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, terutama kekerasan seksual terhadap perempuan.
Sesuai catatan tahunan Komnas wanita (5/tiga), pada tahun 2020 terdapat 42% dari 77 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas ialah kasus kekerasan seksual.
Kementerian PPPA (Pemberdayaan perempuan serta proteksi Anak) juga mengungkapkan bahwa, sampai 30 Maret 2021 diketahui sebanyak 110 anak penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan dari total 1.355 anak yang mengalami kekerasan.
Data ini diambil dari laporan yang masuk ke Sistem gosip Online proteksi perempuan serta anak (SIMFONI-PPA) tahun 2021.
Kekerasan dan subordinat yang terjadi itu disebabkan dari beberapa faktor. Galat satunya yaitu, orang-orang masih memiliki anggapan bahwa penyandang disabilitas menjadi makhluk yg lemah dan tidak berdaya sebab kondisi fisik, mental, serta intelektual mereka.
Anugerah label tadi tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja. Namun, anak kecil yang masih memiliki tingkat pemahaman yang belum tepat, ikut mempraktikkan labeling terhadap para penyandang disabilitas.
Mereka meniru apa yg dilakukan sang orang pada lingkungan sekitarnya. sebagai akibatnya, hal ini bisa sebagai penyebab terjadinya perkara bullying yang dilakukan oleh anak terhadap para penyandang disabilitas, baik pada lingkungan keluarga, sekolah, juga di lingkungan rakyat.
Selain itu, terjadinya masalah bullying terhadap penyandang disabilitas juga dapat ditimbulkan oleh adanya pola edukasi yg belum maksimal dari orang tua juga tenaga kependidikan.
Sehingga, hal tersebut bisa mengakibatkan persepsi yg buruk bagi anak terhadap para penyandang disabilitas. Padahal, pada dasarnya, mereka sama-sama sebagai makhluk ciptaan yang kuasa yang diciptakan dengan kondisi yang paling sempurna diantara makhluk ilahi yg lainnya.
Kesempurnaan itu didapatkan dengan adanya nalar, perasaan, serta budi pekerti. Hanya saja mereka spesial, bukan aneh atau tidak selaras. Walaupun para penyandang disabilitas memiliki keterbatasan, namun mereka tetaplah insan.
Di balik itu semua pada kenyataanya kebanyakan insan yang sehat tidak memakai logika, pikiran, serta perasaan mereka menjadi anugerah dewa yang luar biasa itu buat melakukan kebajikan.
Menjadi contoh mereka kerap bertindak diskriminatif serta melakukan tindakan kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual, maupun stigma atau labeling terhadap para penyandang disabilitas. Pelaku seakan melupakan nilai-nilai moral Pancasila menjadi pandangan hidupnya menggunakan perlakuan tak terpuji terhadap para penyandang disabilitas.
Perlakuan yg buruk tersebut akan berimbas di kondisi psikologis para penyandang disabilitas. Mereka akan merasa bahwa dirinya terpinggirkan, disebut menjadi kaum marginal, dan merasa berbeda berasal insan pada biasanya.
Jika hal tersebut terus berlanjut, kemungkinan besar akan menyebabkan suatu insiden yg fatal bagi para penyandang disabilitas.
Contohnya, kasus bunuh diri atau pembunuhan terhadap mereka. Padahal, pada pasal 5 ayat 1 UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, sudah disebutkan hak-hak asal penyandang disabilitas. Galat satunya merupakan bebas berasal tindakan subordinat, penelantaran, penyiksaan, dan pendayagunaan.
Tetapi, melihat beberapa kasus yg terus bergulir, tak menunjukkan adanya pencerahan dari para pelaku buat menaati peraturan tersebut.
Mereka permanen menganggap remeh penyandang disabilitas. Bahkan, implementasi hukuman pelanggaran terhadap UU tadi belum juga terasa realisasinya. Padahal, dibutuhkan dengan adanya UU tersebut, dapat mengakomodasi kepentingan para penyandang disabilitas seakan bisa hayati layaknya insan di umunya.
Lalu, yg menjadi pertanyaan “Apakah ada yang perlu dipermasalahkan tentang kehadiran mereka atas diri kalian?” yang lebih aneh, insan yang mengaku bahwa dirinya sehat, lebih tidak waras menggunakan menjawab pertanyaan tersebut menggunakan kalimat “Ya, karena mereka tidak selaras.”
Alasan tadi dirasa tidak logis. Mengingat bahwa seluruh insan yang lahir, dilahirkan tanpa adanya pilihan. Walaupun terdapat pilihan, kita permanen tidak mampu menentukan lahir dengan syarat seperti apa. serta menjadi disabilitas ialah sebuah keniscayaan.
Karena itu, orang yg mempunyai pencerahan bahwa dirinya insan, mereka itulah yang akan memperlakukan para penyandang disabilitas sebagai makhluk ilahi merupakan mereka yang bisa memanusiakan manusia pada sekitarnya layaknya diri mereka sendiri. sehingga, hal tadi bisa menimbulkan kepekaan individu atau gerombolan bahwa mereka jua tidak akan berbuat sesuatu hal yang mereka sendiri tidak mau menerima perlakuan tadi.