Web portal pendidikan – Hasil kiriman opini dengan judul upaya membungkam kreativitas anak bangsa disampaikan dan dikirimkan langsung melalui email kami redaksi@belapendidikan.com
PLAGIASI : Upaya Membungkam Kreativitas Anak Bangsa
Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada tanggal 2 Mei disetiap tahunnya merupakan alarm penting bagi pendidikan di Indonesia. Dimana dunia pendidikan sudah selayaknya menjadi ruang peningkatan kapasitas bagi anak bangsa. Sudah sewajarnya jika pendidikan Indonesia dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki.
Jika berbicara mengenai daya pikir dan cara pandang, Indonesia sendiri mempunyai seorang tokoh pendidikan yang terkenal dengan semboyan tut wuri handayani. Ia adalah Ki Hajar Dewantara. Menurutnya, pendidikan adalah suatu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya ialah bahwa pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.
Pendidikan merupakan kodrat bagi yang ada pada peserta didik, maka bagaimana dengan para kaum plagiarisme? Baru-baru ini, wajah indonesia kembali dicoreng dengan maraknya plagiarisme yang dilakukan oleh para Seniman hingga tingkat akademisi. Hal ini mencoreng nama baik dan kredibilitas bangsa. Jika saja Ki Hajar Dewantara masih hidup, maka akan disebut apa bangsa ini? Anehnya, para pelaku plagiarisme ini terjadi justru pada beberapa instansi perguruan tinggi yang dipandang sebagai kiblatnya pendidikan di Indonesia.
Jika merujuk pada KBBI (2014), Plagiarisme berasal dari kata plagiat yang berarti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misal menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri.
Adapun dampak yang ditimbulkan dengan adanya plagiasi ini salah satunya adalah akan semakin terkikisnya pemikiran pemikiran anak bangsa karena adanya plagiasi. Selain itu, akan semakin bermunculan model pendidikan yang bersistemkan kompetitif. Dimana dalam model ini, memiliki karakteristik saling berlomba-lomba untuk menjadi orang yang terbaik dan unggul segala hal.
Model ini menanamkan kesadaran semangat jiwa persaingan dalam diri individu. Di mana nilai dan prestasi menjadi barometer kesuksesan dan keunggulan. Diskursus ini berpuncak kepada ideologisasi pencarian pekerjaan. Hal ini memberikan dampak kepada masyarakat terutama peserta didik tidak lagi mencari ilmu. Atau mengurangi, bahkan menghilangkan nilai substansial dari suatu instansi pendidikan, yakni berburu ilmu.
Mungkin hal inilah yang menyebabkan seseorang melakukan plagiasi. Seseorang yang dengan kemamampuan terbatas ingin terlihat lebih maju dan dengan sedikit usaha pasti akan mudah tertarik melakukan plagiasi ketimbang orang-orang yang memang telah mempunyai mental semangat belajar. Hal inilah yang membuat semakin kurang berkembnagnya sistem pendidikan di Indonesia.
Indonesia seolah-olah telah di bungkam daya kritis dan kenalarannya. Sehingga dampak yang paling menakutkan adalah, para penerus bangsa yang tidak dapat mengembangkan daya kreatifitasnya dalam ber inovasi. Lantas, bagaimana jika sudah seperti ini?
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya plagiasi, tindak kekerasan, dan kurang meratannya sistem pendidikan sudah selayaknya pendidikan karakter diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan. Sehingga kecerdasan emosi ini merupakan bekal penting bagi peserta didik dalam mempersiapkan masa depan. Karena dengan kecerdasan emosi, seseorang akan lebih mudah dan berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Pendidikan karakter yang baik tergantung pada masing-masing pribadi untuk mampu mendisain program yang memiliki komitmen mengembangkan pembelajaran yang mendukung penguatan sinergi kecerdasan (IQ, EQ dan SQ). Karena saat ini, selain peran perseorangan, sangat pula dibutuhkan re-vitalisasi peran akademisi untuk mengembangkan rencana strategis dalam mengembangkan soft skill karakter.
“Penulis merupakan mahasiswa aktif fakultas usluhudin adab dan dakwah di perguruan tinggi Institut Agama Islam Negeri Pekalongan.”
Artikel ini ditulis oleh Rizka Aprilliana, kamu juga bisa menulis karyamu di belapendidikan, dibaca jutaan pengunjung, dan bisa menghasilkan jutaan rupiah. Klik disini untuk kirim tulisan