Web portal pendidikan – Selamat siang sob, kali ini kita akan bahas tema dengan judul Pekerjaan rumah menuju mimpi pendidikan yang lebih progresif. Untuk info selengkapnya dapat kita simak dalam ulasan berikut.
Pekerjaan Rumah Menuju Mimpi Pendidikan Yang Lebih Progresif
Pendidikan di Indonesia dapat disimpulkan dalam satu baris kalimat sederhana. “Ideologi-nya adalah Pancasila yang fantastis, namun realitanya miskin praktek.” Pendidikan kita terjebak dalam sebuah rutinitas yang menahun-nahun tanpa sebuah pembaharuan sama sekali.
Sebut saja pendidikan sekolah dasar yang terlalu teoritis mengabaikan pertumbuhan karakter, sementara itu pendidikan menengah yang mengadopsi kurikulum sains yang terlalu berat dan tinggi yang tentunya tidak sejalan dengan fasilitas laboratorium yang tersedia.
Intinya, di bangku sekolah model pengajaran kita didominasi dengan bercerita atau penanaman aspek kognitif belaka. Hal ini menyebabkan pelajar menjadi jauh dari realitas sosial.
Fenomena ini sangat sejalan dengan penuturan Paulo Freire, bahwa nilai-nilai empiris yang jauh dari realitas akan membuat hasil yang didapatkan akan cenderung kaku alias tidak hidup sama sekali.
Tidak heran jika kita acapkali menemukan para sarjana yang lulus dengan nilai tinggi namun tak bisa berkontribusi banyak di tengah masyarakat, ataupun terkadang ada yang potensial namun tak bisa berkembang dikarenakan lingkungan yang tidak mendukung, misalnya saja karena keluarga tidak mengetahui arti pentingnya pendidikan atau keterbatasan finansial yang membuatnya berhenti melanjutkan pendidikan.
Tengok saja tokoh Lintang dalam novel fenomenal “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata. Lintang adalah sosok anak cerdas dan potensial yang terabaikan. Lintang tumbuh dalam wadah yang kurang mendukung perkembangan karakter dan mimpi-mimpinya, entah itu keluarga atau sekolah.
Keluarganya yang tidak memiliki semangat pendidikan yang besar. Permasalahan itu sejalan dengan apa yang dialami oleh sebagian anak-anak putus sekolah di negeri ini. Keluarga tidak memahami pentingnya pendidikan bagi kemaslahatan masa depan sehingga membiarkan saja mereka putus sekolah.
Sementara di sisi lain, sekolah mengonversi mereka menjadi angka-angka yang kaku. Tak ayal, banyak sosok seperti Lintang yang mengalami nasib sama di negeri ini. Nah, inilah yang dinamakan sebagai sebuah kecanggihan teoritis yang kosong eksperimen.
Indonesia memiliki ideologi dan peraturan tentang kemajuan pendidikan yang merata bagi semua orang, namun di sisi lain keluarga dan malah sekolah mengotak-ngotakkan anak-anak dalam sebuah labirin yang bernama kenisbihan.
Acapkali anak-anak di sekolah dipaksa memahami banyak hal dalam waktu singkat, sementara mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya mereka pahami. Hal ini tentu saja berdampak sangat krusial di masa depan. Anak-anak menjadi “robot” masa depan yang sudah di-setting bekerja sesuai target.
Alhasil, kebahagiaan dan rasa syukur bukanlah menjadi hal yang utama lagi. Anak-anak yang sudah tumbuh dewasa tersebut melakukan pekerjaannya dengan tidak bahagia. Tingkat diskriminasi dalam area pekerjaan merajalela.
Korupsi pun menjelma sebagai sebuah hasil dari ketidakbahagiaan dan ketidaksyukuran atas keadaan tadi. Inilah penyakit kronis yang telah diidap cukup lama dan mengakar kuat di tubuh negeri ini.
Merespon cemasan-cemasan tentang mulai melemahnya peran pendidikan bagi pertumbuhan swadaya manusia negeri ini, pada tanggal 5 hingga 8 Februari 2018 lalu Pemerintah melalui Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RPNK) berhasil merumuskan lima isu penting yang akan menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan daerah serta komunitas budaya ke depannya dalam komunikasi dua arah.
Kelima isu penting tersebut adalah ketersediaan, peningkatan profesionalisme dan perlindungan serta penghargaan guru, pembiayaan pendidikan dan kebudayaan oleh pemerintah daerah, kebijakan revitalisasi pendidikan vokasi dan pembangunan ekonomi nasional, membangun pendidikan dan kebudayaan dari pinggiran, serta penguatan pendidikan karakter.
Menilik dari kelima isu tersebut, sebenarnya tujuan pendidikan yang berkualitas serta capaian yang diinginkan telah terlingkupi semua ke dalam sistem tersebut. Sebut saja, jaminan sertifikasi guru, akses semua orang ke pendidikan yang mulai dipermudah dan diberi jalan lebar seperti program Kartu Indonesia Pintar (KPI) yang dikeluarkan Pemerintah, serta pembangunan-pembangunan dan pengupayahan-pengupayahan lainnya dari pemerintah pusat serta daerah yang mulai menampakkan hasil.
Sungguh sebuah pembaharuan yang sangat baik dalam sistem pendidikan Indonesia, sehingga tinggal kualitasnya saja yang harus dikembangkan. Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo pada RNPK di Pusdiklat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Sawangan, Depok tersebut.
Bahwa kesejahteraan yang bersumber dari kekayaan sumber daya alam suatu negara tidak dapat menjamin negara itu juga bisa sejahtera. Justru banyak negara yang kaya raya karena SDA melimpah didera konflik bersaudara dan kemiskinan yang mendarah daging.
Hal itu terjadi karena lemahnya daya juang dari manusia-nya, rasa malas yang sudah mengakar kuat serta ketidakmampuan untuk bersikap kreatif dan berpikir inovatif. Muara dari semua itu adalah pendidikan karakter yang masih saja menjadi pekerjaan rumah tidak terselesaikan negeri ini.
Pendidikan karakter yang tidak tertanam membuat banyak pelajar terlibat dalam kasus bully, tawuran hingga tidak lagi memiliki rasa hormat kepada guru. Inilah yang sangat ditekankan oleh Presiden. Dan ini juga yang menjadi salah satu “pekerjaan rumah” besar di kalangan dunia pendidikan yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Beberapa garis besar “pekerjaan rumah” bagi Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat yang hingga saat ini masih seperti harapan dan mimpi yang belum dapat diwujudkan secara progresif dirangkum dan dijelaskan sebagai berikut.
1. Tekanan Belajar dan Kesejahteraan Batin yang Tidak Dihiraukan
Timothy D. Walker dalam bukunya “Teach like Finland” membeberkan tips -tips dan kunci mengajar paling sederhana dan tepat dalam bidang pendidikan di Finlandia.
Ia menyimpulkan bahwa yang menjadi alasan pendidikan di Finlandia menjadi nomor satu di dunia dibanding negara-negara maju macam Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya seperti Jerman dan Inggris adalah kesejahteraan batin murid dan guru.
Paradigma pendidikan di Finlandia sangatlah positif karena mereka memperhatikan lebih dalam mengenai kesejahteraan fisik dan batin dari setiap individu dan pelaku pendidikan, yaitu siswa dan guru.
Para siswa di Finlandia gemar sekali memanfaatkan waktu istirahat mereka dengan bermain-main sesuai dengan usia mereka serta bergabung di klub-klub minat yang disediakan sekolah. Para guru di sana juga sangat memerhatikan perkembangan karakter siswa-siswanya.
Misalnya saja mengenai pemberian PR (pekerjaan rumah) yang tidak terlalu berat karena para guru ingin siswa menghabiskan waktu di rumahnya sepulang sekolah dengan istirahat dan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya. Bandingkan dengan di Indonesia.
Pulang sekolah, para siswa terutama siswa-siswa sekolah dasar sekarang ini sudah dijejali dengan berbagai macam PR yang berat-berat serta les-les yang wajib diikuti sehingga tak ada lagi waktu untuk bermain-main dan menikmati masa kecil dengan sehat dan ceria.
2. Lingkungan Mandiri yang Belum Bisa diaplikasikan
Faktor ini salah satu faktor yang sangat berpengaruh bagi perkembangan karakter anak-anak. Menilik jumlah penduduk Finlandia yang hanya separuh Jakarta, pemerintah dan masyarakat Finlandia sangat mudah bekerja sama dalam mengupayakan siswa-siswa mereka lebih mandiri.
Anak-anak sekolah dasar dan menengah di sana dapat pulang dan pergi sekolah sendirian saat naik bus dan kereta tanpa takut diganggu dan terseret kejahatan kriminal. Perilaku mandiri seperti ini membuat para siswa dapat terbiasa dalam berpikir secara lebih teliti dan cermat dalam segala hal, memahami hal-hal dasar dalam kehidupan, bersatu dengan lingkungan dan memberikan rasa memiliki keterikatan dengan negara dan lingkungan sekitarnya.
Bandingkan dengan Indonesia kita yang luas ini dimana tingkat kriminalitasnya sangat tinggi. Anda tentu masih ingat tentang kasus pedofilia yang mencuat dari salah satu sekolah dasar swasta beberapa waktu lalu yang mengorbankan beberapa anak.
Indonesia tak aman untuk anak-anak dalam bepergian secara mandiri seperti di Finlandia. Dan disinilah peran orang tua serta sekola menjadi sangat krusial.
3. Tidak Melupakan Esensi Penting Pendidikan
Tim dalam bukunya menekankan bahwa esensi paling penting dari dunia pendidikan semestinya seiring dengan prinsip universal yang dianut oleh kehidupan masing-masing orang yaitu kebahagiaan.
Siapa sih yang tidak ingin bahagia di dunia ini bukan? Faktor ini menjadi faktor paling utama yang dianut oleh kurikulum pendidikan Finlandia. Bandingkan dengan di Indonesia. Para orang tua menjejalkan anak-anak mereka yang masih berusia sekolah dasar dengan berbagai macam les agar mereka dapat menguasai banyak hal.
Para siswa itu pun belajar dengan tergesa-gesa dan terkesan dipaksakan, alih-alih belajar dengan bahagia. Pendidikan pun berjalan dengan terpaksa, hampir seperti sebuah siksaan yang membuatnya menjadi tidak menyenangkan lagi.
Sementara di Finlandia, anak-anak dengan pertumbuhan karakter yang sudah ditempa sedemikian rupa sejak awal membuat mereka belajar dengan bahagia. Mereka gembira mengetahui dan mempelajari banyak hal sehingga mereka dapat memahaminya dengan mudah.
Mungkin ada sebagian kecil dari murid-murid kita di Indonesia yang suka dengan belajar karena itu sudah menjadi karakter mereka namun bagaimana dengan anak-anak yang tidak suka belajar karena belum mengetahui betapa menyenangkannya belajar tersebut?
Disinilah peran para guru dalam menghadirkan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan dengan tidak terlalu banyak teoritis berat yang cepat membuat bosan. Menyisipkan pesan-pesan “teori” setiap mata pelajaran dalam sebuah praktik dan percobaan-percobaan kecil nan sederhana di kelas lebih mudah membuat anak “jatuh cinta” dengan atmosfer belajar seperti itu ketimbang harus menghafal setiap materi tanpa mengetahui apa tujuan dan inti pesan yang ingin disampaikan setiap mata pelajaran.
4. Pengembangan Kepribadian Lebih Penting dibandingkan Skill
Skill memang penting karena dibutuhkan dalam dunia kerja nantinya. Namun, hal itu masih jauh bagi anak-anak usia sekolah dasar serta menengah. Skill dapat diasah namun kepribadian akan sangat susah dibentuk ketika mereka sudah mencapai usia dewasa.
Teach like Finland mengajarkan bahwa pengembangan kepribadian yang dimaksud oleh pendidikan di Finlandia adalah belajar mengetahui tentang dunia sekitarnya, kehidupan sosial di lingkungannya, kesempatan untuk memenuhi kebutuhan sendiri secara mandiri hingga mengenal perbedaan masing-masing mata pelajaran sehingga kelak mereka dapat mengetahui kemampuan mereka di masing-masing bidang tersebut.
Meski belajar di sekolah dasar ala Finlandia terkesan sederhana dan “main-main” namun sistem pendidikan mereka mengajarkan matematika sebagai sebuah subjek penting yang perlu dipelajari sehingga selalu dikemas dengan bermacam praktik yang bernuansa ilmiah.
Selain itu, sains yang diajarkan pun lebih banyak mengarah kepada level umum yang sederhana dan dapat “dibungkus” lebih menarik dalam bentuk praktik-praktik kecil. Barulah pada tingkat menengah seperti SMP dan SMA, sains lebih dipadatkan dan dispesifikkan kedalam kelompok fisikia, kimia dan biologi.
5. Kelas Inklusif yang Menyamakan Semua : Sama Rata Sama Rasa
Sesuai dengan perkembangan zaman, tak hanya sekolah-sekolah swasta internasional yang mahal, sekolah-sekolah negeri di Indonesia pun banyak menerapkan sistem kelas akselerasi dan reguler yang terkesan “memisahkan” antara siswa-siswa yang pintar dan kurang pintar.
Hal ini memberikan kesan perbedaan kasta dalam dunia pendidikan sekolah. Namun, tentu saja masih banyak sekolah di Indonesia yang menerapkan hal yang sama dengan di Finlandia yaitu diterapkannya kelas inklusif yang menyamaratakan semua, antara siswa yang kurang pintar dan pintar.
Tujuannya tentu saja adalah nilai kesetaraan yang diusung agar semua siswa berlatar belakang apapun mencapai level yang sama serta kesempatan belajar yang sama.
6. Posisi Guru yang Sangat Bernilai
Masih ingat tentang kasus seorang murid yang membunuh gurunya beberapa waktu lalu? Atau beberapa kasus guru melakukan pelecehan terhadap muridnya? Sungguh benar-benar miris wajah pendidikan kita diwarnai oleh perilaku tidak hormat, tidak sopan serta kriminalitas seperti itu.
Kejadian-kejadian tersebut menjadi sebuah rongga tak kasat mata yang merupakan PR besar di negeri ini. Bahwa sebenarnya bukan hanya siswa dan pelajar yang perlu diperbaiki karakternya di negeri ini, namun juga guru-gurunya.
Kejadian-kejadian tersebut memberi kesan pada siswa bahwa profesi guru merupakan profesi yang “sepele” sedangkan bagi guru yang amoral tadi, profesi yang dilakoninya itu hanya sebatas mencari kerja untuk uang, bukan sebagai sebuah bentuk pengamalan sepanjang hayat bagi orang lain.
Timbullah banyak skeptis dan keraguan-keraguan yang makin tumbuh di tengah-tengah masyarakat terhadap profesi guru. Ada siswa yang lupa akan jasa guru, dan ada guru yang tidak lagi dapat berperan sebagai orang tua murid di sekolah namun malah “menghina” profesi mulia tersebut.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan bila Anda berada di Finlandia. Posisi guru di sana sangatlah bernilai di tengah persepsi masyarakat dan budaya. Guru adalah salah satu profesi paling penting dan populer di kalangan anak muda di negeri Skandinavia itu, sehingga tak heran kalau banyak anak muda yang melamar menjadi guru setelah lulus.
Lebih utamanya lagi kepopulerannya sama dengan bila Anda melamar menjadi dokter atau pengacara. Jam mengajar yang pendek, perlakuan yang bagus, gaji tinggi, minimal lulusan master hingga waktu pengembangan diri dan kesejahteraan yang sangat terjamin membuat profesi ini menjadi lebih diminati.
Mungkin jumlah waktu tatap muka dengan siswa lebih pendek namun sebenarnya karena ini profesi yang sulit maka guru-guru di Finlandia lebih banyak menghabiskan jam kerja dengan menganalisis proses belajar yang akan mereka lakukan dan terapkan di kelas.
Intinya guru-guru di sana lebih termotivasi untuk mengajar para siswa dengan metode belajar yang sesederhana namun sebaik mungkin agar anak-anak tersebut dapat dengan mudah termotivasi dan senang akan belajar.
Bandingkan bila di Indonesia. Banyak lulusan di negeri ini yang awalnya bukanlah lulusan pendidikan atau guru namun akhirnya melamar menjadi guru karena tak ada lowongan pekerjaan bagi mereka yang sesuai dengan lulusan mereka.
Hal ini memberi kesan bahwa profesi guru hanyalah sebagai profesi “ban serep” bagi sebagian lulusan muda tersebut padahal menurut William Arthur Ward, sosok guru dan dosen mestinya menjadi pusat dunia pendidikan.
Seperti katanya: “The mediocre teacher tells, the good teacher explains, the superior teacher demonstrates and the great teacher inspires” maka sudah berapakah guru dan dosen di Indonesia yang telah dapat menjadi inspirasi bagi anak didiknya?
7. Ujian Nasional. Apakah Perlu?
Ujian Nasional memiliki konsekuensi negatif yang lebih banyak. Begitulah yang diyakini oleh Finlandia dalam sistem pendidikannya. Mereka mendasarkan pemikiran tersebut dari pengalaman-pengalaman internasional berbagai negara.
Pada jenjang pendidikan dasar, Finlandia tidak memiliki ujian nasional (UN) akhir sebagai salah satu penilaian terakhir para siswa sekolah dasar itu lulus ataupun tidak. Sementara itu, di tingkat sekolah menengah, mereka mengenal Ujian Matrikulasi. Tidak ada sistem rangking.
Tes yang digunakan adalah Sample Base Text Examination, dimana suatu Badan atau Institusi yang menggelar tes bertugas menguji sampel pada beberapa siswa. Tes-tes tersebut berkaitan dengan bagaimana aspek pengajaran terhadap beberapa siswa entah dari kondisi kelas hingga tingkat motivasi belajar mereka.
Lebih singkatnya, National Sample Base Test ini sesungguhnya diperuntukkan bagi guru bukan siswa. Finlandia tidak ingin membandingkan siswa yang satu dengan yang lainnya, atau peringkat sekolah yang satu dengan yang lainnya.
Sementara itu, di Indonesia perdebatan tentang Ujian Nasional ini masih belum menemukan titik temu dan solusi yang pas. Diperlukan perbincangan yang banyak di antara semua elemen pendidikan untuk mengatasi apa solusi terbaik untuk masalah yang satu ini.
8. Sebuah Wacana tentang Biaya Pendidikan
Sistem Kesejahteraan Skandinavia di Finlandia menerapkan pajak penghasilan yang tinggi sehingga memungkinkan diterapkannya pendidikan gratis untuk semua warga Finlandia dari tingkat dasar hingga doktoral.
Tak hanya pendidikan, pelayanan lain seperti pemeliharaan kesehatan secara gratis pun dapat ter-cover berkat pajak tersebut. Sistem pajak yang diterapkan pun realistis dan progresif karena berdasarkan pada pendapatan tiap orang.
Bila gaji Anda rendah tiap bulannya, maka pajaknya juga rendah. Begitu juga bila pendapatannya tinggi maka persentase pajaknya pun tinggi. Sementara di Indonesia, hal ini sedang diusahakan oleh Pemerintah agar semua anak usia sekolah di negeri ini bisa mengecap kesempatan dan kualitas pendidikan yang sama, baik itu di kota-kota besar seperti Jakarta maupun pedalaman-pedalaman Papua serta daerah-daerah terluar Indonesia.
Menilik bagusnya sistem pendidikan di Finlandia, sekilas mungkin dianggap sudah sempurna namun karena standarnya yang tinggi ternyata negara Skandinavia itu juga memiliki tantangan besar.
Menurut Profesor Erno Lehtinen, guru besar pendidikan dari Universitas Turku Finlandia, tantangan-tantangan tersebut diantaranya adalah makin berkembangnya teknologi mobile berbasis internet, kurangnya minat baca, serta tidak efektifnya waktu yang dihabiskan karena sebagian besar waktu mereka terbuang di depan gadget.
Permasalahan-permasalahan tersebut hampir sama dengan yang dialami Indonesia. Penguasaan IPTEK telah membuat banyak pelaku pendidikan terutama pelajar dan mahasiswa terlena.
Tak jarang anak-anak seusia sekolah dasar di kota-kota besar sudah lebih hafal dan mahir memegang gadget ketimbang buku, membuka youtube dan situs-situs aneh berkonten pornografi dan kekerasan dengan bebas tanpa rasa malu lagi.
Jangan heran bila banyak perilaku kriminal dan pelecehan dilakukan tak hanya oleh orang dewasa namun juga anak kecil terhadap anak kecil lainnya. Media-media sosial seperti facebook juga menjadi sarana saling menghujat serta menebarkan konten-konten yang tidak penting dan memicu SARA.
Intinya, internet dapat mengubah paradigma pikir dan perilaku seseorang sedikit demi sedikit. Fenomena-fenomena seperti inilah yang membuat matinya budaya literer di kalangan pelajar dan anak muda.
Bisa dikatakan bahwa ini adalah hasil dari ideologi pragmatis instan yang telah terlanjur dibangun sedemikian rupa sehingga menjadi tertanam dan dianggap positif dalam pikiran mereka.
Salah satu hasil pemikiran tersebut adalah dalam pelaksanaan pendidikan, para pelajar seolah “terdogma” bahwa lulus dan menerima ijazah kelulusan diatas segala-galanya, apapun bentuk dan cara mencapainya misalnya saja penghalalan tindakan mencontek.
Sebagian anak muda Indonesia menganggap ijazah melebihi pengetahuan, melampaui buku, dan sekolah hanya untuk mendapatkan ijazah. Pandangan inilah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia berwatak robot.
Inginnya diperintah terus oleh sistem. Malas melakukan riset dan menyusuri kebenaran-kebenaran ilmiah. Akibatnya muncullah plagiarisme dalam segala bentuk. Hal ini berbeda dengan filosofi bangsa Jepang dalam mendidik.
Negeri Para Samurai itu tidak mengharapkan hasil tertinggi dalam mendidik yang ujung-ujungnya dapat mengkotak-kotakkan kemampuan seseorang. Setiap orang terlahir spesial. Tak semua orang mampu multi-tasking.
Mental mereka dalam mendidik kerap dikenal sebagai mental Bushido dalam jalan hidup Samurai yaitu jujur, kerja keras, mengikuti dan taat pada pemimpin, tidak individualis dan egois, bersih hati, bertanggung jawab serta tahu malu.
Tujuan mendidik bagi para guru dan profesor di Jepang adalah mencari sebuah kebenaran ilmiah. Selama proses menuju tujuan tersebut sesuai dengan norma-norma dan kaidah yang disepakati, maka angka tidaklah menjadi penting lagi. Hal ini tentu saja terbalik dengan Indonesia.
Tak ayal kita menemukan banyak guru dan dosen “menekan” anak murid mereka agar mendapatkan hasil maksimal tanpa melihat kesejahteraan dan kebahagiaan batin sehingga timbullah watak-watak robot tadi.
Ini berbahaya karena sistem pendidikan kita menjadi seperti mimpi Kekule tentang struktur molekul benzena dalam kimia, yaitu tentang ular yang menggigit ekornya sendiri. Tak akan ada habis-habisnya. Tak akan ada ujung-ujungnya. Selalu berjalan di tempat. Miris sekali, bukan?
Sejalan dengan itu, kebudayaan juga memiliki nasib yang sama dengan pendidikan. Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pendidikan mestilah menjadi jantung kebudayaan.
Ekspresi seni dan budaya seyogyanya tidak bergeser dari kebudayaan, karena pendidikan dan kebudayaan adalah sebuah sumber kekuatan persatuan bagi peradaban dan ciri khas suatu bangsa dalam memenangkan persaingan global ditengah gempuran modernisasi.
Keduanya mestilah membawa “kedamaian” dan “kebahagiaan” bagi para pelakunya. Jangan sampai apa yang dikatakan Karl Marx menjadi benar, bahwa pengetahuan serta filsafat apapun yang tidak memberikan sebuah kontribusi nyata dalam kehidupan, maka sebenarnya hal tersebut hanyalah sebuah kesia-siaan belaka.
Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dan keuletan tingkat dewa dari para pelaku pendidikan dan kebudayaan di negeri ini untuk menanamkan serta memupuk mental Bushido yang Pancasilais dalam kehidupan sehingga tema besar yang diharapkan yaitu “Pendidikan menjadi Kuat, Budaya menjadi Maju” pun bukanlah menjadi mimpi yang hampir progresif lagi.
Artikel ini di tulis oleh Senja Dewi U kamu juga bisa menulis karyamu di belapendidikan, dibaca jutaan pengunjung, dan bisa menghasilkan juta rupiah setiap bulannya, Daftar Sekarang