Web portal pendidikan – Cerpen kali ini berjudul Kulangitkan Asa Dari Balik Bilik Bambu, yang sudah dikirimkan oleh salah satu peserta dalam ajang lomba cerpen nasional bersama belapendidikan.com. Untuk lebih lengkapnya dapat kita lihat sebagai berikut.
Cerpen : Kulangitkan Asa Dari Balik Bilik Bambu (Bagian Pertama)
Bangunan putih bertengger di atas tanah seluas satu are. Sederhana, dengan halaman berhiaskan bunga-bunga dan dedaunan hijau yang menyejukkan mata. Sebuah papan bertuliskan “Praktek Umum, dr. Mehrunisa” berdiri kokoh di atas pijakan sebilah bambu.
“Nek, lihatlah. Harapanmu sudah terwujud. Rumah bambu kita saat ini sudah berubah menjadi bangunan permanen dari batu bata. Dan lihatlah, sudah ada papan bertuliskan praktek dokter didepannya.”, ucapku menengadah langit.
Air mataku menetes, aku masih tidak percaya dengan apa yang sudah kuraih saat ini. Kakiku berbalut sepatu hitam yang cantik. Tubuh kecilku berbalut seragam putih kebanggaan.
Akulah Mehrunisa, gadis yatim piatu yang ditinggal orang tua semenjak berumur dua tahun. Akulah Mehrunisa, gadis berkulit cokelat yang dibesarkan dari tetesan peluh seorang nenek tunanetra pembuat dan pedagang tempe. Yah, inilah aku si gadis tempe.
“Selamat pagi, Dok.”, seorang wanita paruh baya menyapa hangat.
“Selamat pagi, Bu Mina. Mari silahkan masuk.”, aku menjawab ramah dan mempersilahkannya masuk.
“Dok, terima kasih banyak. Anakku sekarang sudah sembuh.”, ujarnya.
“Ibu sudah berterima kasih pada Tuhan kan sebelumnya?”, tanyaku melempar senyum.
“Sudah, Dok.”, balasnya mengangguk.
“Dok, maaf saya hanya bisa membayar dengan dua ikat kangkung dan tiga buah tempe.”, lanjutnya menunduk sedih.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya senang sekali Bu Mina mau berbagi tempe buatan tangan ibu sendiri. Tempenya enak, saya suka.”, balasku mengelus pundaknya.
Bu Mina tersenyum dengan mata yang berbinar-binar. Terlihat dari raut wajahnya pancaran rasa bahagia saat tempe buatannya mendapat pujian.
Bu Mina adalah seorang janda beranak dua. Sepeninggal suaminya, beliaulah yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak-anaknya. Keseharian beliau adalah sebagai pembuat tempe. Tempe tersebut kemudian dijualnya berkeliling kampung atau terkadang menitip di kios-kios milik tetangga.
“Dok, maaf, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Tentu saja boleh, Bu.”, jawabku.
“Dok, apakah dokter ikhlas saat pasien hanya mampu membayar dengan sayuran, ubi, tempe, ataupun beras?”, Bu Mina melanjutkan pertanyaannya.
Aku tersenyum mendapati pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama yang selalu dilontarkan oleh teman-teman seprofesi pun oleh beberapa tetangga saat sedang datang berobat.
“Bu, hakikat ikhlas itu bukankah sebenarnya tidak untuk diucapkan? Maka biarlah saya dan Tuhan yang tahu jawabannya tanpa harus diutarakan pada Ibu. Jika boleh saya hanya meminta doa agar kelak bisa berkumpul dengan nenek dan kedua orang tua saya di surga. Saya sangat merindukan mereka.”, jawabku menyeka air mata.
“Maafkan saya membuat Dokter menangis.”, balasnya.
“Tidak apa-apa, Bu.”, jawabku.
“Tapi Dok, bukankah biaya kuliah kedokteran itu sangat mahal? Jika tidak dibayar dengan uang lalu bagaimana dokter mengembalikan seluruh biaya yang sudah dikeluarkan? Ibarat pedagang Dok, balik modal.”, lanjutnya.
“Alhamdulillah saya kuliah gratis, Bu. Jadi tidak ada biaya yang harus balik modal.”, jawabku tertawa kecil.
“Wah, hebat. Boleh ceritakan bagaimana Dokter bisa kuliah gratis? Mungkin kelak anak-anak saya juga bisa seperti Bu Dokter.”