Sebuah negara yang hingga detik ini tetap menyandang gelar ‘berkembang’, sebuah surga yang istilahnya masih perlu sentuhan dan implementasi berkala. Tidak salah lagi bila sudah lama terdengar isu-isu bahwa kita, sebagai negara yang telah bergabung dengan PBB sejak 1966, akan turut bergabung bila ada pembaruan program pembangunan lagi dari PBB.
Sebab tiap program pembangunan dari PBB berlandaskan dua konsep, yaitu kebutuhan dan keterbatasan, yaitu kesadaran akan adanya kebutuhan masyararakat miskin di negara berkembang, dan adanya keterbatasan teknologi dan organisasi sosial untuk mencukupi generasi sekarang maupun yang mendatang.
Hingga akhirnya, sekitar belum lama ini, hal itu pun terwujud. Pembangunan berkelanjutan, atau yang dalam bahasa PBB-nya disebut sebagai SDGS, sebelumnya memakai istilah MDGs (Millennium Development Goals) yang lahir pada tahun 2000. Diterbitkan pada tanggal 21 di bulan yang sama dengan sumpah pemuda, program ini disahkan pada tahun 2015.
SDGs adalah sebuah program pembangunan berkelanjutan yang terdiri dari 17 tujuan dengan 169 target yang terukur dalam sebuah tenggat waktu, sejak tanggal disahkannya hingga tahun 2030 mendatang.
Secara singkat, 17 tujuan itu dalam dirangkum dalam 3 aspek dasar yang sejalan dengan prioritas maupun realitas nasional.
Dalam aspek ekonomi, sutainable development atau SDGs ini berhubungan dengan perkembangan ekonomi serta mencari cara utuk memajukan perekonomian dalam jangka panjang tanpa menghabiskan modal alam.
Sedang dalam aspek sosial, SDGs bisa disebut sebagai pembangunan yang berkutat pada manusia dalam hal berinteraksi, yang mana amat erat kaitannya dengan aspek budaya.
Dalam aspek lingkungan, SDGs berkaitan dengan perlindungan lingkungan dan membatasi pembangunan agar tidak mencelakai alam maupun menambah berat PR Globalisasi yang sudah ada.
Tentu, tujuan mulia itu bukanlah hal yang mudah untuk dicapai tanpa adanya peran dari berbagai pihak. Kita tidak bisa membebankan saja semuanya kepada pemerintah dan PBB dan mengharapkan hasil yang memuaskan. Kontribusi akademisi, politisi, non-governmental organization (NGO), perusahaan, serta elemen masyarakat lainnya sungguh dapat menunjang pembangunan yang sangat konkrit.
Bayangkan sebuah negara dengan lebih dari 1.000 suku yang berbicara dalam 700 dialek berbeda, yang lebih lagi tersebar diantara 13.000 pulau sepanjang Samudra Pasifik. Bila anda dapat membayangkan hal ini, inilah negara kita, Indonesia. Menyatukan satu bahasa dengan bahasa lain saja sudah cukup susah, seperti peristiwa pergantian nama belakang kerajaan Inggris yang terkesan terlalu ‘Jerman’ sehingga Sang Raja harus mengganti nama menjadi Windsor hanya supaya rakyatnya lebih condong kepada monarki selama Perang Dunia. Lalu, bagaimanakah kabar negara tercinta ini, yang mengambil bhineka tunggal ika sebagai sumpahnya?
Kekuatan lokal memerankan peran amat penting, sebuah artikel dari PBB sendiri berucap bahwa masyarakat umum, pelajar, hingga pemimpin-pemimpin suku di Indonesia haruslah berpartisipasi lebih dari program lahiran tahun 2015 ini.
Salah satu komentar yang pas untuk menggandeng hal ini datang dari Mira Tayyiba, Asisten Deputi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kementerian Korrdinator Bidang Perekonomian Indonesia, bahwa untuk mewujudkan SDGs dapat dimulai dari lingkungan kampus, yaitu mahasiswa dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam bidang ekonomi, mahasiswa jaman sekarang, yang reratanya anak-anak millenial yang besar dengan teknologi dan ilmu pengetahuan dapat membuka usaha berbasis ekonomi kreatif demi mengurangi pengangguran. Langkah kecil yang meninggalkan jejak banyak.
Jaman sekarang, mahasiswa tidak lagi hanya menggandeng peran sebagai penonton. Justru kaum muda lah yang notabenenya memiliki banyak peluang dalam membangun negri. Seperti presiden pertama kita pernah berucap, ‘Berilah aku 10 orang pemuda dan akan kuguncangkan dunia’. Ditambah lagi dengan status sebagai anak millenial yang telah disebutkan diatas, ada banyak kesempatan terbuka gratis untuk kaum muda berinovasi. Terlebih lagi, menurut seorang ahli dari Yayasan Upaya Indonesia Damai, penduduk muda di Indonesia nyaris mencapai 1/3 dari jumlah penduduk.
Contoh sederhananya, mahasiswa yang sering melakukan penelitian di lapangan juga dapat membangkitkan kesejahteraan buruh tani dengan peningkatan kualitas produk sumber pangan, yang secara langsung mendukung kelancaran tercapainya tujuan SDGs dalam mencapai ketahanan pangan dan peningkatan gizi, ditambah dengan berkembangnya produk lokal berarti meningkatkan gaji per kapita per hari (PPP).
Negara Indonesia membutuhkan mereka yang muda dan mampu berfikir kritis, membuat analisa jernih, mampu terjun sekaligus membuat Indonesia terlibat dalam konsep Global Village (jadi bagian dunia) alias menghilangkan hambatan dalam perdagangan global namun tetap mengontrol agar perekonomian dalam negri tidak dilindas produk luar.
Peningkatan layanan kesehatan juga merupakan PR penting. Semua dimulai dari anak masih dalam kandungan hingga umur 2 tahun, dimana bisa disebut sebagai usia krusialnya. Perhatian khusus ini dapat diimplementasikan dalam program kesehatan nasional yang sudah/akan dicanangkan oleh pemerintah. Tapi ingat, pemerintah pastinya memerlukan tenagar kerja ataupun SDM untuk melancarkan program-programnya. Disitulah anak muda dapat berpartisipasi mengambil bagian.
Pendidikan juga harus merata. Sekolah di desa lebih kecil dalam memiliki peluang untuk mendapatkan fasilitas dan guru yang kualitasnya baik. Hal sekecil KKN dapat membuat sebuah perubahan. Disparitas kualitas pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari penelitan dari World Bank bahwa siswa-siswi di Jawa lebih cepat membaca dibanding para siswa di Papua, NTT dan Maluku.
Omong-omong tentang Papua, untuk menopang tahun 2025 nanti, ada PR yang melekat dengan saudara kita yang seringkali terlupakan itu. Dengan judul ‘Papua yang Mandiri secara sosial, Budaya, Ekonomi, dan Politik’, pembangunan berkelanjutan di Papua menginginkan peningkatan dalam pelayanan kesehatan dan taraf hidup, kualitas dan peran perempuan, hingga pendidikan dan aktualisasi budaya Papua. Sosialisasi amat diperlukan dalam mewujudkan kesejahteraan Papua tahun 2025 tersebut, mengingat masih banyak keterbatasan informasi di Papua dibanding daerah lainnya. Sedang kalau di pulau Jawa saja tidak banyak yang benar-benar tahu tentang SDGs, bagaimana dengan Papua?
Diperkirakan pada 2025 penduduk RI akan mencapai 273,65 juta iwa, dengan usia angka harapan hidup meninggi dari 69 tahun menjadi 73 tahun. Menurut Kompas Cyber Media, Pendapatan Per Kapita juga diharapkan akan lebih merata, dengan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5% dari jumlah keseluruhan. Target yang lumayan dapat dijadikan PR bagi para aktivis dan pemikir yang concern dengan impian ini dalam bidangnya masing-masing.
Media sosial, alias sahabat sejatinya anak muda, juga dapat menumbuhkan optimisme tinggi dalam pencapaian SDGs. Lihat, pengguna internet di Indonesia mencapai 132 juta, sebuah angka yang lumayan fantastis. Bila ditilik ke belakang, akhir-akhir ini jalanan sudah diramaikan dengan Ojek Online, salah satu hasil pemanfaatan teknologi untuk kreatifitas dan produktifitas.
Hal paling sederhana yang sesungguhnya sangat berdampak adalah dengan keikutsertaannya kaum muda dalam dunia pendidikan. Tak perlu disebutkan lagi, bahwa hal itu turut membantu tercapainya tujuan berkembangnya kualitas pendidikan. Tahun 2015, ada sekitar sekitar 4.500 mahasiswa sarjana dan pasca sarjana mendapat beasiswa LPDP. Sungguh angka yang membanggakan, apalagi pemerintah secara aktif berupaya menarik penerima beasiswa dari daerah-daerah kurang berkembang.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan di dunia kampus. Sebab kampus memiliki suara yang banyak tidak dimiliki oleh instansi lain. Kampus dapat menjadi lembaga pemantau, dalam hal ini sebagai penyedia alat penelitian dan tenaga, juga sebagai pengkritik kinerja pemerintah apabila tidak maksimal dalam mewujudkan SDGs.
Salah satu tantangan dalam implementasi SDGs juga adalah ketidakpahaman masyarakat tentang SDGs. Beberapa pihak masih memandang SDGs sebagai agenda internasional yang terpisah dengan pembangunan nasional dan daerah. Pemahaman ini tentunya bisa dipatahkan oleh kaum muda lewat diadakannya seminar serta kajian, sebagai pemupuk pemahaman yang baik. Ada juga yang merasa bahwa MDGs yang lalu belum berhasil memenuhi kriteria sebagai pemuas ekspektasi dan harapan. Mungkin juga hal itu dikarnakan pemerintah yang kurang melibatkan pemangku kepentingan pembangunan yang lain. Beberapa orang, istilahnya, masih menyisakan ‘trauma’ atas MDGs yang lalu.
Inilah tentunya tantangan yang lagi-lagi menekankan peran lokal dan kaum muda sebagai keniscayaan yang menyertai pembangunan berkelanjutan. Dan bila hal itu sudah terpenuhi, apakah target SDGs dapat terwujud dalam kurun waktu 7 maupun 12 tahun lagi? Hm, biarlah kaum muda sendiri yang menjawab.