Jurnaliscun.com – Selamat pagi sobat kang hafiz, kali ini saya ingin memposting materi pelajaran tentang KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) yang dimana artikel tersebut di beri judul yaitu : Komisi Pemberantasan Korupsi : Harapan Progresif.
![]() |
Tolak Korupsi di Negeri Ini |
Rancangan undang undang anti korupsi telah di sahkan empat fraksi DPR pada hari jumat, 23 juli 1999 sebagai pengganti aturan lama, UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Beberapa ide inovatif muncul dalam UU baru ini, antara lain sistem pembuktian terbalik berimbang (the balanced of reversal the burden of proof), pemidanaan minimal ( Pasal 20), pemidanaan korporasi ( Pasal 20), pidana mati dalam kondisi tertentu (Pasal 2 ayat 2 ) dan pembentukan komisi pemberantasan korupsi (KPK) (Pasal 43).
Agaknya ide futuristis mengenai komisi institusi eksternal Kejaksaan ini awalnya dari Prof Dr Andi Hamzah SH meski berakhir diluar kehendak dan maksud ide itu sendiri, mengingat akhirnya KPK ini merupakan institusi independent yang memiliki wewenang penuh dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Munculnya kembali ide ini saat Menteri Kehakiman Muladi mengadakan rapat kerja tentang RUU Tindak Pidana Korupsi dengan Panitia Khusus DPR. Memang ide ini menimbulkan sikap pro-kontra. Kejaksaan Agung tentunya bersikap kontra mengingat ketentuan ini akan dianggap sebagai suatu eliminasi terhadap hukum positif yang telah menempatkan Kejaksaan Agung sebagai institusi monopoli atas penyidikan dalam tindak pidana korupsi.
Sebaliknya bagi yang pro menganggap ide ini sebagai suatu justifikasi terhadap pengakhiran dikotomi antara polisi dan jaksa dalam menentukan posisi sentral penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi.
KPK ini baru akan efektif berlaku dalam jangka waktu dua tahun sejak berlakunya UU ini, karenanya persiapan kehadiran KPK perlu dicermati, mengingat ide ini merupakan konsep pembentukan sistem yang inovatif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, baik struktur, substansi maupun pembaharuan budaya hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Memang ide pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini merupakan pengaruh reaksi formal masyarakat terhadap lambannya pelaksanaan proses penegakan hukum, khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi, baik itu yang dilakukan oleh Kepolisian maupun yang telah dilakukan Kejaksaan Agung. Selain itu, ide memunculkan Komisi ini adalah sejalan dengan similarisasi formal melalui tekad pemerintah terhadap sisi komparatif adanya komisi independen dari beberapa negara, antara lain Malaysia dan Hongkong. Malaysia memang memiliki Anti Corruption Agency yang disebut Badan Pencegah Rasuah dengan kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan kasus berindikasi tindak pidana korupsi. Dari negara negara berkembang, hanya hongkong yang tampaknya memiliki komisi independent Commision Anti Corruption (ICAC) yang didirikan tanggal 17 Oktober 1973.
Reaksi atas pembentukan komisi ini dipandang positif, bahkan masyarakat Hongkong menilai bahwa pemberantasan korupsi memang layak dilakukan oleh suatu institusi independen, tentunya untuk menghindari segala bentuk interfensi eksekutif maupun legislatif yang justru akan dianggap menghambat proses penegakan hukum terhadap eliminasi perbuatan koruptif. Pimpinan ICAC tidak bertanggung jawab kepada lembaga eksekutif maupun legislatif, tetapi langsung kepada Gubernur Jenderal sebagai perpanjangan tangan Kerajaan Inggris.
Reevaluasi
Tidak mudah memang mewujudkan suatu good governance pada era transisi yang demokratis ini. Betapa tidak, di hampir setiap negara berkembang, termasuk Indonesia, korupsi sudah merupakan bagian yang membutuhkan suatu reevaluasi ekstrem terhadap sistem yang dianggap telah terkontaminasi dengan kekuasaan. Kekuasaan menyebabkan korupsi birokratis yang berkepanjangan, sebaliknya kontaminasi korupsi mengakibatkan lumpuhnya kekuasaan yang absolut. Artikulasi kedua makna itu jelas memperlihatkan keterkaitan antara korupsi dengan kekuasaan yang akan mengakibatkan kerugian masyarakat dan negara dalam skala besar.
Bayangkan saja, korupsi birokratis ini hampir menjangkiti seluruh sektor kehidupan rill maupun formal, bahkan institusi kekuasaan, akibatnya dapat diperkirakan pula, yaitu proses penegakan hukum terhadap pemberantasan korupsi tidak akan pernah tuntas. Harapan akhir yang semula pada institusi maupun pejabat penegak hukum akan terkikis manakala korupsi, baik itu berbentuk bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan kimisi secara ilegal), telah mengkontaminasi institusi dan pejabatn hukum tersebut. Dan kontaminasi ini pun bukan monopoli semata Indonesia, tetapi pula menjangkit negara besar Amerika Serikat pada multisektor yang dikenal sebagai institution Corruption seperti yudikatif, eksekutif, dan legislatif.
Memang pemerintah maupun DPR tampaknya mengakomodir pendapat yang berkembang dalam masyarakat bahwa solusi atas polemik merosotnya integritas dari institusi penegakan hukum, baik polisi maupun jaksa, hanyalah dengan cara menyerahkan segala kewenangan soal korupsi pada suatu institusi independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang lepas dari segala pengaruh eksekutif dan legislatif. Artinya, KPK ini dapat bernaung dalam pengawasan langsung MPR sebagai institusi tertinggi negara sehingga tak timbul kesan sebagai subordinasi dari dan yang dapat diintervensi melalui kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Namun, yang penting adalah bahwa perekrutan terhadap personalitas KPK ini wajib memiliki integritas dan moralitas tinggi dalam upaya menegakan pemberantasan korupsi, sehingga KPK tidak diartikan sebagai uniform baru dari institusi formal penegakan hukum yang lama saja.!
Terima kasih sudah membaca artikel kami yang berjudul Komisi Pemberantasan Korupsi : Harapan Progresif. Untuk artikel dapat anda unduh disini Komisi Pemberantasan Korupsi : Harapan Progresif