web portal pendidikan – Selamat malam sob, artikel kali ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya. Nah sebelumnya kita bahas hubungan tidak harmonis Kepala Daerah dan Wakilnya, nah sekarang Ketidakseimbangan Hubungan Kepala Daerah dan DPRD.
Ketidakseimbangan Hubungan Kepala Daerah dan DPRD
Pilkada langsung tidak dengan serta merta menjamin peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Demokrasi pada tingkat lokal membutuhkan berbagai persyaratan. Dalam perspektif itu efektifitas sistem pilkada langsung ditentukan oleh faktor faktor atau sebutlah prakondisi demokrasi mencakup kualitas pemilih, kualitas dewan, sistem rekrutmen, fungsi partai, dan sebagainya.
Pilkada langsung tidak dengan sendirinya menjamin peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri, tetapi jelas membuka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Akses itu berarti berfungsinya mekanisme check and balances.
Pasca pilkada langsung salah satu pertanyaan yang sering dikemukakan adalah bagaimana implikasi pemilihan langsung terhadap hubungan Kepala Daerah dengan DPRD. Pertanyaan itu menjadi masuk akal karena mayoritas pemenang pilkada hanya mendapat dukungan kurang dari 50% suara sah.
Jaringan pendidikan pemilih untuk rakyat dalam surveynya terhadap hasil hasil pilkada 2005-2006 menemukan bahwa pemenang pilkada pada umumnya mendapat dukungan suara pemilih dibawah 50%. Hal yang sama juga terjadi pada tahun tahun berikutnya.
Ini mengandung arti bahwa pilkada menghasilkan Kepala Daerah yang belum mencerminkan dukungan mayoritas pemilih. Hasil pilkada tetap absah secara hukum dan tetap memiliki legitimasi yuridis.
Begitu juga dengan fakta bahwa sebagian besar Kepala Daerah terpilih tidak dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang punya kekuatan mayoritas di DPRD. Dalam konteks membangung mekanisme check and balances antara eksekutif dan legislatif, fakta demikian mesti dimaknai sebagai peluang untuk membangun keseimbangan baru.
Bisa jadi, kalau pasangan pemenang pemilihan Kepala Daerah berasal dari kekuatan mayoritas di DPRD, hubungan eksekutif-legislatif akan penuh dengan kolusi.
Dalam masalah legitimasi, jika dibandingkan dengan penentuan pemenang dalam pemilihan Presiden/Wakil Presiden, UU No. 32 Tahun 2004 memang tidak merancang bahwa pemenang pemilihan kepala daerah harus mendapatkan dukungan lebih besar dari 50%.
Pasal 107 UU No. 32 Tahun 2004 hanya menjadikan angka 50% sebagai salah satu batasan untuk menentukan pemenang.
Ketidakseimbangan Hubungan Kepala Daerah dan DPRD
Artinya, secara hukum tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan bahwa legitimasi Kepala Daerah akan melemah di hadapan DPRD karena suara sah yang diperoleh kurang dari 50%. Bahkan kalau mau diperdebatkan, meskipun kurang dari 50% tidak tertutup kemungkinan dukungan itu jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah suara yang didapatkan partai politik pemenang suara mayoritas di DPRD.
Di sejumlah tempat, terjadi pasangan calon yang memenangkan pilkada adalah mereka yang dicalonkan oleh gabungan partai partai kecil baik yang memiliki kursi di DPRD maupun yang tidak.
Pasangan calon ini telah memenangkan pilkada dengan mengalahkan pasangan calon lain yang didukung oleh parpol parpol besar yang memiliki kursi di DPRD.
Dalam praktik hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif daerah akhirnya terjadi ketidakseimbangan hubungan atau distorsi politik antara kedua lembaga tersebut yang berujung pada konflik atau mandeknya kegiatan pemerintahan.
Seperti yang terjadi di Banyuwangi, terus menerus meradang karena tidak kuatnya basis politik yang dimiliki eksekutif untuk mengendalikan situasi politik meskipun telah dipilih rakyat dengan suara terbanyak.
Fluktuasi hubungan lembaga lembaga politik, aktor aktor politik dengan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi tersebut pada akhirnya menimpulkan respon pemerintah pusat. Menteri Dalam Negeri meminta Gubernur Jawa Timur untuk segera menyelesaikan konflik yang terjadi antara Bupati Banyuwangi dengan PNS di Banyuwangi.
Sikap politik DPRD yang tidak memberikan dukungan politik kepada Bupati menjadikan posisi politik Bupati kian melemah. Kendatipun Mendagri meminta Gubernur Jatim untuk segera mengambil kebijakan terkait dengan apa yang berlangsung di Banyuwangi, namun Gubernur belum memiliki payung hukum yang spesifik terkait hal tersebut. Akibatnya, kinerja birokrasi pun tidak mampu berlangsung secara efektif.
Praktik fluktuasi (ketidakseimbangan) hubungan Kepala Daerah dan DPRD pasca pilkada langsung di daerah merupakan bukti tidak berjalannya hubungan kesetaraan dan bersifat kemitraan sebagaimana yang diharuskan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004.
Ketidakseimbangan Hubungan Kepala Daerah dan DPRD
Implikasi lainnya dari pilkada langsung terhadap hubungan Kepala Daerah dan DPRD pasca pilkada adalah menurunnya peran dan fungsi DPRD.
Misalnya dalam penggunaan hak interpelasi. Hampir lima tahun sejak pilkada langsung pertama kali digelar, tidak banyak daerah yang mempergunakan hak tersebut. Padahal hak interpelasi menjadi amat penting untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah.
Turunnya DPRD di sisi lain menyebabkan meningkatnya peran pemerintah pusat dalam aktivitas pemerintahan daerah. Hal ini dipicu dengan regulasi pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah pusat terhadap hal hal yang berkaitan dengan tugas dan fungsi DPRD.
Salah satu indikasi penting dari peran tersebut adalah Pasal 30 ayat (1) serta Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD.
Demikian juga Pasal 40 tentang kedudukan dan fungsi DPRD yang menjadi unsur pemerintahan daerah mengindikasikan upaya untuk mengembalikan peran dan fungsi DPRD seperti pada masa UU No. 5 Tahun 1974.
Dengan berkurangnya peran legislatif dan menguatnya peran eksekutif, membuat posisi dan peran eksekutif menjadi dominan. Sebagai unsur pemerintahan daerah, DPRD tidak lagi berpengaruh signifikan dalam mengontrol kinerja pemerintahan daerah.
Nah, itulah penjelasan dari artikel Ketidakseimbangan Hubungan Kepala Daerah dan DPRD. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan dari para pengunjung setia jurnaliscun. Terima kasih sudah berkunjung dan silahkan memberikan reaksi terhadap artikel ini di komentar bawah.
yang jelas kalo hubungan kepala daerah sama dprd tidak seimbang kebijakan kebijakan dan infrastruktur daerah pasti akan sangat terganggu
kalo antara eksekutif dan legislatif hubungannya tidak harmonis, itu bisa mengakibatkan mangkak nya pembangunan