Jurnaliscun.com – Selamat malam sobat mas hafiz, kali ini saya akan membahas postingan tentang materi pelajaran atau materi perkuliahan, khususnya anak hukum pasti lebih mengenalnya. Judul postingan saya kali ini yaitu Ke Arah Jabatan Jaksa Agung Yang Independen.
Setelah terjadi tarik ulur soal jabatan Jaksa Agung, hari selasa 14 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan MA Rachman sebagai Jaksa Agung. Ia bukanlah sosok baru di lingkungan Kejaksaan sebab dia adalah jaksa karier.
![]() |
Ke Arah Jabatan Jaksa Agung Yang Independen |
Pengangkatan MA Rachman ini memang memperoleh atensi tersendiri mengingat dia memiliki integritas dan kapabilitas karier yang dapat dipertanggungjawabkan dan lekat dengan mimik low profile nya, namun demikian perlu diperhatikan pula bahwa bayang bayang “Lopa” sebagai sosok Jaksa Agung yang kritis masih melekat di benak masyarakat sehingga sosok Lopa itu masih terobsesi dan diharapkan muncul dari MA Rachman.
Dengan pengangkatan Jaksa Agung baru ini diharapkan adanya suatu pokok pemahaman sebagai langkah konseptual yang menarik, yaitu menempatkan posisi struktural Kejaksaan Agung sebagai institusi penegakan hukum yang independen dan diakui adanya kehendak aparatur Kejaksaan Agung sebagai investigatory officer yang kharismatik. Untuk itu perlu dilakukan suatu pendekatan sistem yang berkaitan dengan peninjauan substansi produk hukumnya.
Jabatan Jaksa Agung sangat rentan dengan polemik kekuasaan, bahkan jabatan ini hampir dapat dikatakan jadi sorotan publik. Sebagai jabatan strategis dalam proses penegakan hukum, jabatan Jaksa Agung haruslah bersifat independen yang lepas dari pengaruh siapapun sehingga dapat dianggap sebagai institusi yang kharismatik. Dari tinjauan sejarah, pada era tahun 1950an, saat itu Jaksa Agung Soeprapto adalah sosok kharismatis yang disegani di dunia hukum. Betapa tidak, seorang menteri (aktif) diperiksa karena diketahui membawa sejumlah uang ke luar negeri yang saat itu ada aturan larangannya. Seorang tokoh terkemuka partai yang berkuasa saat itu (PNI) yang disidik karena melanggar hukum, meskipun proses penyidikannya mendapat teguran dari Presiden.
Kejaksaan Agung Korea Selatan merupakan salah satu negara di Asia yang dianggap terbaik dan memiliki kharisma. Dalam tubuh Kejaksaan Agung Korea Selatan ini terdapat lembaga yang disebut Special Investigatory Agency yang memiliki tugas melakukan penelitian harta benda semua pejabat tinggi maupun swasta. Tidak sedikit yang terjadi di lembaga ini, antara mantan Presiden dan beberapa konglomerat.
Special Investigatory Agency ini berada pada The Public Prosecutor’s Office Law of South Korea dimana anggotanya tidak dapat diberhentikan dalam menjalankan tugas penyidikannya dan ini dijamin melalui konstitusi. Hanya National Assembly (semacam DPR) yang berwenang melakukan pemeriksaan apabila terjadinya dugaan penyimpangan anggota Special Investigatory Agencies.
Bagi Indonesia, Kejaksaan Agung yang memiliki kharisma hanya dapat terwujud apabila Kejaksaan Agung berdiri sebagai suatu pilar institusi yang independen. Hal ini dapat terjadi hanya apabila mekanisme prosedural pengangkatan dan pemberhentian jabatan Jaksa Agung dilakukan suatu revisi. Kita menghindari dari pahitnya sejarah ketatanegaraan manakala eksekutif melakukan intervensi terhadap jabatan Gubernur Bank Indonesia. Oleh karena itu, jabatan Jaksa Agung seharusnya hanya dapat diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR.
Fungsi Kontrol Legislatif ini dimaksudkan untuk menjaga integritas dan independensi institusi Kejaksaan Agung, khususnya jabatan Jaksa Agung agar tidak terkontaminasi lingkungan kekuasaan institusi kenegaraan lainnya. Adanya format jabatan jaksa agung yang independen, akan mendekati terwujudnya penegakan hukum yang terfokus pada soal eliminasi korupsi.
Korupsi ini sudah dianggap sebagai iextra ordinary crime yang menghancurkan hak ekonomi dan sosial masyarakat, karenanya penumpasannya harus dilakukan dengan skala prioritas. Lihat saja, sejak Kongres PBB VII di Milan ( Italia ) tahun 1986 tentang crime Prevention and Criminal Justice in The Contest od Development and a New International Economic Order telah diakui adanya suatu pergeseran paradigma terhadap kejahatan.
Dalam konteks pembangunan, dimensi kejahatan korupsi tidak hanya bertitik tolak pada penggelapan keuangan negara, tetapi juga soal bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) yang dilakukan dalam kegiatan tercela oleh oknum pemerintah yang dinamakan bureaucratic corruption maupun private corruption. seperti tax evasion (penggelapan pajak), credit and banking fraud (Penipuan dibidang kredit dan perbankan) dan yang paling populer adalah embezzlement and misappropriation of public or state funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat dan negara).
Parameter keberhasilan tugas Jaksa Agung terletak pada arah independensi institusi diikuti sikap moralitas dan integritas. Selama tidak ada independensi Kejaksaan Agung, selama itu pula tidak ada penegakan hukum. Akibatnya, konsepsi penegakan hukum hanya sebatas retorika dan ekstrapolarif saja.