Web portal pendidikan – Cerpen kali ini berjudul Hutang masa lampau, yang dikirimkan oleh salah satu peserta dalam ajang lomba cerpen nasional bersama belapendidikan.com. Untuk lebih lengkapnya dapat kita lihat sebagai berikut.
Cerpen : Hutang Masa Lampau (Bagian Pertama)
Teras depan rumah masih berantakan seperti tadi pagi. Bungkus-bungkus jajanan masih di atas meja. Piring juga belum dicuci sama sekali. Aku tidak sempat berberes karena telat bangun. Bekerja sambil bersekolah benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Ini semua demi melunasi hutangku. Mengingatnya saja membuatku ingin mengantukkan kepalaku ke dinding. Aku merasa bersalah tiap kali bertemu dengannya.
Namun, dia selalu melontarkan senyum bila berpapasan denganku, membuatku semakin bersalah saja. Sampai saat ini aku baru mengumpulkan setengah dari hutangku, ceroboh sekali.
“Halo, Ma?” Aku terkejut ponselku tiba-tiba berdering. “Sudah dibayar uang sekolahnya, Nak?” Ujar mamaku dari seberang telepon. “Sudah, Ma. Mama jadi pulang hari ini?” Terdengar suara helaan nafas. “Mama belum bisa pulang, Nak. Ada berkas yang mau diurus lagi.” Ujar mamaku.
“Yaah, padahal sudah senang dengar mama pulang hari ini.” Ucapku manja. “Haha, mungkin sekitar minggu ke-1 atau ke-2 bulan depan mama pulang, ya, Nak.”
“Iya, Ma. Iya, he-eh.” Mama menutup teleponnya.
Kadang terbesit dipikiranku bagaimana reaksi mama bila kuberitahu tentang hutangku senilai 3 juta ini. Pasti dia akan marah besar. Saat ini aku tidak mau mengganggu pekerjaan mama disana. Aku harus melunasi ini sebelum mama pulang.
Aku membereskan kamarku yang seperti kandang ayam. Padahal hanya tinggal sendiri di rumah tapi kamarku seperti kena bom atom. Fokusku tertuju pada boneka sapi kecil yang tergeletak di samping tempat tidurku. Ini dari dia, mungkin umurnya sudah dua tahun.
Aku tidak percaya primbon-primbon jawa yang mengatakan hari sialku adalah hari selasa. Takhayul akan menyesatkan jalan menuju sukses. “Ah, tidak ada itu.” Begitulah mamaku menyangkal keberadaan takhayul.
Berbicara hari sial aku tidak ingin mengacaukan hari pertama kami memakai laboratorium baru. Aku menepuk-nepuk telapak tanganku pelan berharap hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan bersama laboratorium baru.
“Atributnya sudah dipakai semua?” Semua siswa serentak menjawab “Sudah, Bu.” Barang-barang laboratorium sebagian besar terbuat dari kaca, jadi kami harus berhati-hati dalam memakainya.
Tanganku gemetar saat memindahkan labu-labu ukur yang masih bening dan rentan itu. Saking gugupnya aku sampai terbayang-bayang bagaimana jika terjadi hal yang tak diinginkan. Aku meletakkan labu ukur itu di atas meja dan berjalan mundur untuk memastikan labu itu tetap ditempatnya.
Cerpen : Hutang Masa Lampau (Bagian Kedua)
Prangg!! Aku terkejut setengah mati mendengar suara yang berasal dari belakangku. Mereka semua melihat kearahku, Bu Maya sontak berdiri dari duduknya dengan memasang wajah marah.
“Aduh, bagaimana ini?? Lihat-lihat belakanglah, tuh ‘kan, jatuh…” Ujar Dion di belakangku. Aku memutar kepalaku dan melihat kepingan-kepingan. “Siapa yang menjatuhkannya?
Aduh, kalian ini apa yang akan saya katakan pada Pak Jerry nanti?! Waahh, timbangan digitalnya pula yang“ Bu Maya mengecek timbangan itu, nihil. Tidak berfungsi sama sekali. “Rusak total! Rusak total!” gerutu Bu Maya sambil berkacak pinggang. “Siapa yang menjatuhkannya? Kenapa bisa jatuh?” Tanya Bu Maya berang.
“Wendy menabrakku, Bu. Timbangan itu terlepas dari tanganku.” Ungkap Dion cemas. “Sekolah cuma memberi satu untuk timbangan digital karena harganya mahal. Wendy, kamu harus ganti ini dengan yang baru, duh, saya bingung mau berkata apa didepan Pak Jerry nanti. Yang lain tolong lebih hati-hati lagi!”
Aku berdiri di pagar pembatas menatap kosong kedepan. Hal yang ingin kuhindari akhirnya terjadi juga. Kini hutangku bertambah banyak. Ibu akan pulang bulan depan. Aku tidak yakin kesanggupanku membayar ganti rugi tanpa memberitahu Ibu. Dia pasti akan marah sekali padaku. Setiap hari bekerja saja sudah melelahkan demi melunasi hutangku pada James. “Aku turut berempati padamu, Wen.”
“James? Sungguh ceroboh sekali aku ini. Aku sudah membuat ponselmu tercebur ke air dan sekarang aku merusakkan timbangan digital. Mungkin sebentar lagi aku menumpahkn cairan asam sulfat ke temanku.” Ujarku.
“Semua sudah diatur dan pasti ada hikmahnya. Jangan patah semangat.” Ujarnya sambil tersenyum. Aku pun membalasnya dengan senyuman. “Aku pasti akan mengganti rugi ponselmu.” Dia mengangguk seraya pergi ke kelas.
Bulan ini adalah gaji terakhirku. Aku harus mencari cara lain untuk mendapatkan uang selain bekerja di swalayan. Uang tabunganku juga tidak cukup untuk menutupinya. Aku merasa langit akan segera runtuh. Otakku panas memikirkan uang, uang dan uang. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah pamflet. “Kupikir ini ide yang menarik.”
“Ini giliranmu, ayo.” Ujar seorang wanita yang lebih tua dariku sambil menunjukkan selembar kertas. Sudah seminggu berlalu sejak insiden laboratorium. Malam ini aku berpartisipasi sebagai pengisi acara di café.
Bersyukur aku cukup pandai menyanyi. Dari panggung ini aku bisa melihat para pengunjung memenuhi kursi-kursi kosong. Beberapa temanku juga berada disana. Aku melantunkan lagu-lagu yang populer dikalangan remaja. Aku merasa puas telah merampungkan semua masalah karena ulahku sendiri. Karena kecerobohanku merugikan diriku dan orang lain.
Cerpen : Hutang Masa Lampau (Bagian Ketiga)
“Suaramu bagus seperti biasanya, Wendy. Aku kaget saat melihatmu naik ke atas panggung.” Ujar Erika. Aku menghampiri mereka setelah giliranku selesai. “Ngomong-ngomong bagaimana dengan ganti rugimu?” Tanya mereka. “Ini untuk timbangan digital.” Ujarku sambil tersenyum kecut. “Ooh, kau memanfaatkan bakatmu dengan baik, Wen, hahaha.”
“Kudengar James akan pindah sekolah ke luar kota, benar?” Mereka membuka topik baru. Aku sedikit terkejut, aku belum melunasi hutangku padanya. “Kapan dia akan pindah?” Tanyaku. “Lusa. Besok adalah hari terakhirnya di sekolah.”
James akan pindah sekolah, kenapa tiba-tiba? Apa masalah keluarga. Untunglah aku telah mendapatkan gajiku bulan ini. Aku akan memberikannya besok.
Keesokan harinya, aku menemui James yang tengah bersama Dion di lantai bawah. “James!” Panggilku, dia menoleh tanpa menyahut. “Ini.” Aku memberikan amplop putih tebal padanya.
“Oh, ya, terimakasih, Wen. Aku dikasih uang hahaha.” Gelaknya. “Oh, ya, kudengar kau akan pindah sekolah ke luar kota, kenapa mendadak?” Tanyaku. “Ayahku pindah kerja jadi mau tidak mau kami harus ikut dengannya.”
“Begitu…” Aku berdiri disana dalam waktu sepersekian detik tanpa bicara. Suasana mulai canggung, aku pun memutuskan untuk kembali ke kelas. “Aku ke kelas, ya.”
Canggung sekali. Dialah orang yang memberiku boneka sapi itu. Sekitar dua tahun yang lalu, dia pernah menembakku. Kata orang dia itu tampan, tapi aku tidak bisa menerimanya karena alasan orangtua.
Ibuku selalu melarangku berpacaran. Ya, karena aku anak yang berbakti kepada orangtua aku mengikuti perkataannya. Itu sudah lama sekali, bila dipikir-pikir dia juga pasti sudah lupa.
Sudah dua hari semenjak kepergian James dari sekolah ini. Semoga dia mendapat kebahagiaan di tempatnya sekarang. Berkuranglah satu orang anggota kelasku. “Wendy, aku ingin bicara padamu sebentar.”
“Maaf, aku baru bisa mengatakan ini. Sebenarnya…”
“Waktu itu, akulah yang sengaja menyenggolmu sehingga ponsel James terjatuh ke kolam. Dan lagi… maafkan aku, Wendy, akulah yang sengaja menabrakmu dari belakang dan menjatuhkan timbangan digital itu.” Ungkap Dion gugup. “Kenapa, Dion?? Apa salahku padamu??” Ujarku dengan nada meninggi. Apa dia dendam padaku? Tapi aku tidak pernah berbuat masalah padanya.
“James. James menyuruhku melakukan itu semua.”
“Ke-ken-“
“Katanya itu untuk dua tahun yang lalu.”
Bagaimanakah kelanjutan dari cerita tersebut ? Nantikan di episode selanjutnya
Cerpen ini ditulis oleh Widya Putri Anggraini kamu juga bisa menulis karyamu di belapendidikan, dibaca jutaan pengunjung, dan bisa menghasilkan jutaan rupiah setiap bulannya, Daftar Sekarang