Web portal pendidikan – Cerpen kali ini berjudul Guruku pahlawanku, yang dikirimkan oleh salah satu peserta dalam ajang lomba cerpen nasional bersama belapendidikan.com. Untuk lebih lengkapnya dapat kita lihat sebagai berikut
Cerpen : Guruku Pahlawanku (Bagian Pertama)
Aku terkejut setengah mati mendengarnya. Baru kemarin aku melihatnya makan mie ayam Mang Lekjo di gang rumah. Malah sempat saling melempar senyum karena beliau memang ramah orangnya.
Hari ini aku dapat kabar buruk, beliau tutup usia. Sontak membuatku bertanya-tanya memangnya beliau sakit apa? Kemarin baik-baik saja. Atau kecelakaan? Astaga, yang membuatku semakin tak percaya adalah penyebab kematian beliau. Kata tetangga beliau dibunuh.
“Apa??? Dibunuh, Bik?” kataku luar biasa kaget.
“Iya. Tadi malam,” jawab Bik Ruji datar.
“Kok bisa, Bik? Pak Ridwan kan baik, ramah. Kayaknya gak punya musuh,” jawabku masih terheran-heran.
“Iya, dibunuh sama perampok,” nada suara Bik Ruji berubah.
Kakiku gemetar. Lidahku terasa kelu. Aku merinding. Tak percaya benar-benar tak percaya. Rasa terkejut, kasihan dan marah bercampur aduk.
Beliau tetanggaku, meski tak dekat, tapi masih satu komplek. Beliau yang sering dipanggil Pak Ridwan berprofesi sebagai guru di Sekolah Menengah Pertama tak jauh dari tempat kami tinggal.
Orangnya memang tak banyak bicara, tapi ia tak sombong. Anaknya baru satu, perempuan, cantik, usianya baru 2 tahun. Seumuran dengan Liska, ponakanku. Aku sering melihatnya membawa putrinya jalan-jalan saat aku membawa Liska jalan sore. Tak jauh-jauh, hanya sekitaran rumah.
Ah, aku jadi langsung terbayang putrinya yang cantik dan lucu, rambutnya yang pendek dan masih jarang-jarang diikat seperti pohon kelapa. Senyumnya mirip bapaknya. Diusia sekecil itu, akan tumbuh besar tanpa ayah kandung. Diusia sekecil itu, kenangan apa yang akan tersisa tentang bapaknya. Ya Tuhan, kasihan sekali.
Lalu istrinya, yang kutahu hanya seorang ibu rumah tangga. Usianya masih sangat muda, hanya beda beberapa tahun saja dariku. Jarang kelihatan, paling saat beli sayur atau jemur kain. Lalu, akan bagaimana ia tanpa suaminya? Sungguh aku prihatin.
Bergegas aku pulang, tak ada orang di rumah. Emak tak di rumah, padahal harusnya sudah pulang dari pasar. Liska juga tak ada. Pasti dibawa Emak. Tanpa pikir macam-macam, aku langsung menuju rumah almarhum untuk melayat. Masih ramai, suasana masih sangat berduka, aku hanya bertemu sanak saudaranya.
Kata mereka istri beliau sedang istirahat, tadi sempat pingsan berulang kali. Putrinya juga tak terlihat, dibawa sama saudaranya yang lain. Yah tak apalah, yang penting niatnya sudah tersampaikan.
Di perjalanan menuju rumah, pikiranku terus berjalan bagai slide demi slide powerpoint kosong. Hingga sampailah pada satu titik yang membuat slide kosong tadi berisi. Aku teringat pada guruku di bangku SMA. Beliau adalah guru fisika, murid-muridnya memanggilnya Pak Bro. Nama asli beliau adalah Pak Biro Jaya.
Ya, namanya punya sejarah. Waktu beliau lahir, ayahnya sedang tak di rumah, sedang di kantor tempatnya bekerja, di Biro Administrasi Kemasyarakatan. Untuk mengenang itulah nama Biro itu diberikan.
Cerpen : Guruku Pahlawanku (Bagian Kedua)
Beliau yang dikenal dengan Pak Bro ini lumayan galak kalau di kelas. Bayangkan saja, kalau tidak mengerjakan PR, kamu akan dihukum satu jam pelajaran berdiri di depan kelas, tapi harus tetap mengikuti pelajaran.
Jika tak bisa menjawab pertanyaan, maka hukuman akan terus berlanjut sampai pertemuan berikutnya. Namun biasanya, aku dan kawan-kawan yang tidak mengerjakan PR, akan sangat malu jika sudah berdiri di depan kelas, tak bisa menjawab soal pula. Maka, kami akan sungguh-sungguh mengikuti pelajaran dari luar kelas, sampai menguap pun tak sempat.
Saat mengajar, beliau juga sangat tegas. Suasana kelas terasa menegangkan. Bagaimana tidak, selama pembelajaran berlangsung, tak ada suara yang terdengar selain suara beliau. Sampai-sampai jarum yang jatuh pun mungkin akan terdengar. Beliau akan marah jika saat ia menerangkan pelajaran, ada siswa yang berbicara.
Pernah disuatu waktu saat beliau menerangkan, salah seorang temanku namanya Udin berbicara dengan teman semejanya. Entah apa yang mereka bicarakan. Pak Bro menangkap basah saat si Udin berbicara.
Beliau langsung melemparkan kapur ke arah Udin. Secepat kilat seperti roket yang melesat. Untung tidak pas alias meleset karena si Udin menghindar. Suasana kelas semakin mencekam. Semua menunduk, tak berani mengangkat muka. Kemudian Pak Bro mengeluarkan suara. Aku ingat betul apa katanya.
“Saya tidak marah karena kamu tak mendengarkan saya. Tapi saya marah karena kamu tak mendengarkan apa yang saya sampaikan.”
Kalimat yang tidak begitu berarti bagi anak SMA. Namun diusiaku kini aku tahu bahwa makna kalimat itu begitu dalam. Bahwa kalimat itu mengandung arti bukan karena siapa, tapi karena apa. Bahwa kalimat itu mengajak kita untuk fokus mendengarkan apapun yang disampaikan bukan hanya fokus pada siapa yang menyampaikan.
Pak Bro, beliau juga dikenal dengan kedisiplinannya. Ia tak pernah terlambat masuk kelas barang semenit pun. Sebab itu kami pun tak berani datang terlambat masuk kelas. Untungnya mata pelajaran beliau bukan les pertama di jam delapan pagi. Kalau tidak, aku yang sering terlambat bangun pagi bisa-bisa habis dilahapnya.
Katanya, kedisiplinan adalah kunci kesuksesan. Kedisiplinan adalah bukti kemampuan seseorang mengatur dirinya sendiri sehingga akan jadi cerminan kemampuannya mengatur orang lain.
Di luar kelas, Pak Bro sangat ramah, berbeda jauh dengan di dalam kelas. Tak jarang ia menyapa muridnya terlebih dahulu. Menanyakan kabar siswanya juga kabar orangtuanya. Kemudian ia akan memberikan nasihat dan motivasi agar siswanya tidak malas belajar. Ia merupakan guru yang peduli terhadap siswa-siswanya.
Yang tak bisa kulupakan juga adalah cara pendekatan yang ia lakukan pada siswa-siswanya khususnya siswa laki-laki. Saat berbicara, ia kerap menepuk pundak, mengusap kepala, bahkan sampai merangkul siswanya.
Ada hal yang takkan lekang dari ingatanku, yang telah menjadi kenangan antara aku dan beliau. Pernah aku terlambat bayar SPP, karena waktu itu Emak belum punya uang. Emak berjualan di pasar, hanya sanggup ngontrak kios kecil-kecilan. Emak sendiri membesarkan kami sejak Bapak tiada.
Emak itu perempuan tangguh, membiayai hidupku dan abang satu-satunya, ayah Liska. Dengan perjuangan Emak, aku bisa kuliah sampai sarjana, ayah Liska juga sampai sarjana. Di rumah yang sederhana, kami dibesarkan dengan cinta kasih seorang Emak yang tak pernah mengeluh sepanjang hidupnya. Semua hal disyukurinya.
Sebab itulah hal biasa bagiku terlambat membayar SPP ataupun buku-buku pelajaran. Guru-guru sudah tahu akan hal ini tapi tak semua mereka memaklumi keadaanku. Aku memang tak termasuk anak yang pintar di kelas, paling banter masuk 15 besar. Jadi tak semua guru mengenalku dengan baik.
Waktu itu, aku menunggak SPP sudah cukup lama, karena Emak harus menyicil uang pengobatan Bapak yang dipinjam ke sanak saudara. Aku yang waktu itu masih labil, rasa malu menggerogotiku. Aku malu tiap kali wali kelas memanggilku. Menanyakan kapan,kapan dan kapan aku akan membayarnya. Aku malu pada teman-temanku yang menatapku dengan pandangan beragam.
Dan akhirnya kuputuskan untuk bolos sekolah sampai seminggu. Emak tak tahu, karena aku berangkat seperti biasa. Emak ke pasar, aku pulang ke rumah. Seolah tak ada yang terjadi, walau dalam hati aku merasa sangat berdosa.
Cerpen : Guruku Pahlawanku (Bagian Ketiga)
Hampir seminggu seperti itu, aku mulai takut dapat surat panggilan dari sekolah.
Tepat lima hari kebolosanku. Emak baru saja ke pasar, aku masuk rumah. Masih pakai seragam. Terdengar suara ketukan pintu. Degup jantungku tak beraturan. Apakah itu Emak?Tanyaku dalam hati. Tapi dari suara ketukannya sepertinya tidak.
Lalu terdengar salam, suara seorang lelaki. Sepertinya aku mengenalnya. Kubuka pintu dengan perlahan. Astaga.. Pak Bro sudah di depan mata.
“Eh..Bapak, silahkan masuk” kataku begitu kikuk.
Setelah beliau duduk, aku pun duduk. Diam seribu bahasa. Antara heran dan takut.
“Bagaimana bisa Pak Bro ke rumahku? Apakah Pak Bro mengantarkan surat panggilan untukku? Tapi mengapa bukan wali kelas atau guru BK yang mengantarnya? Ahh..” banyak sekali pertanyaan menari-nari di kepalaku.
“Lintang, ibumu tahu kamu bolos sekolah?” tanya Pak Bro memecah kesunyian.
“Eng..eng…” Entah apa yang harus kukatakan.
“Lintang, dengar ya. Kamu harus sekolah walaupun keadaanmu sulit.
Banyak hal yang bisa kamu lakukan untuk mengatasi persoalanmu bukan malah menghindar,” kata Pak Bro.
Pertanyaanku terjawab. Pak Bro diutus untuk menanyakan kebolosanku. Yang membuatku tersentak adalah pertanyaan apakah Emak tahu. Ya Tuhan, aku semakin merasa bersalah apalagi aku tertangkap basah memakai seragam tapi tak masuk sekolah. Aku semakin bungkam.
“Lintang, besok kamu masuk sekolah ya,” kata Pak Bro sambil tersenyum.
“Tapi, Pak..” jawabku takut.
“Besok kita bicarakan, besok Bapak tunggu. Bapak permisi ya.”
Aku hanya mengangguk. Kini entah apa yang bersarang di kepalaku. Yang terbayang hanya wajah Emak yang sudah kubohongi. Emak yang berjuang menghidupi dan menyekolahkan kami, begitu tega aku lukai. Aku ingin berlari ke pangkuan Emak, menangis meminta maaf.
Aku berjanji dalam hati tak mengulangi kesalahanku lagi. Lalu cerita besok? Apakah aku masih bisa sekolah walau sudah menunggak SPP? Entahlah, akan kuhadapi besok.
Keesokan harinya di sekolah, akupun dipanggil.
Aku dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah dan dinasehati disana agar tidak bolos dan sisa tunggakan SPP bisa dicicil selama satu bulan ke depan. Sisa tunggakan? Aku kembali bertanya-tanya. Tak cukup sampai disitu, pertanyaanku berikutnya, kemana Pak Bro? Padahal kemarin Pak Bro bilang ia menungguku.
Sampai kelas berakhir, aku tak melihat beliau. Aku semakin penasaran jangan-jangan ada hal buruk yang menimpanya. Lalu, tak sengaja aku mendengar satpam saat akan pulang sekolah. Pak Bro masuk rumah sakit karena kecelakaan.
Tak berpikir panjang, aku bergegas kesana bersama temanku. Beliau tersenyum melihatku. Syukurnya kecelakaan beliau tidak parah. Lecet-lecet di lengan, tapi ia harus dirawat karena tekanan darahnya menurun. Bukannya membahas perihal kecelakaannya, beliau malah membahas tentangku.
Beliau berpesan agar aku harus rajin belajar dan menjadi anak yang sukses untuk membahagiakan Emak yang sudah berjuang selama ini. Kali ini aku menangis, aku terharu.
Cerpen : Guruku Pahlawanku (Bagian Keempat)
Lalu aku bercerita bahwa aku dipanggil ke ruangan Pak Kepsek dan soal sisa tunggakan SPP. Pak Bro tersenyum mengusap kepalaku. Kurasakan sosok Bapak kembali hidup. Senyumnya bermakna mengisyaratkan sesuatu. Akhirnya kutahu, Pak Bro menutupi sebagian tunggakan SPP ku.
“Jangan bolos lagi. Ingat Emak. Mulai besok, ikut Bapak. Ada saudara buka bengkel.” kata Pak Bro meyakinkanku.
“Wah, terima kasih, Pak.” jawabku penuh haru.
Sejak saat itu, dia menjadi idolaku. Dibalik ketegasannya, hatinya begitu lembut. Entah akan ada lagi seorang guru sepertinya. Bahkan saat aku ingin melunasi tunggakanku yang sudah ditutupinya, ia tak pernah menerimanya.
“Kamu tahu cara membayarnya? Kamu harus sukses, banggakan Emak,” katanya.
Ya, Pak Bro telah membuatku sadar bahwa mengatasi masalah bukan dengan menghindar tapi dengan berusaha. Pak Bro mengajarkanku banyak hal, ia telah menjadi contoh bukan hanya memberi contoh.
Kini, ia telah tiada. Tak sempat ia melihat kesuksesanku nanti. Tak sadar airmataku menitik mengenangnya. Bagiku ia adalah guruku dan juga pahlawanku. Kalau bukan karenanya mungkin aku sudah putus sekolah.
Aku melawan semua rintangan yang menghadangku untuk menjadi sukses membanggakan Emak seperti pinta Pak Bro, pahlawanku.
Studiku tinggal satu semester lagi. Aku semakin bersemangat untuk menyelesaikannya. Kemudian bekerja, mudah-mudahan bisa membahagiakan Emak di usia senjanya.
Pak Ridwan, membuka lembaran ingatan penuh suka cita tentang Pak Bro pahlawanku. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa keduanya dan menempatkannya diantara orang-orang yang mulia.
Tamat …
Cerpen ini ditulis oleh Gabby Maureen Pricilia, S.Pd., M.Hum. kamu juga bisa menulis karyamu di belapendidikan, dibaca jutaan pengunjung, dan bisa menghasilkan jutaan rupiah setiap bulannya, Daftar Sekarang